Selasa, 21 April 2009

Kantin Kejujuran Tingkatkan Pendapatan Penjual

Kantin kejujuran dan koperasi kejujuran yang diluncurkan pada 9 Desember 2008 lalu di SD Negeri Jetis III Lamongan, SMP Negeri 2 Lamongan dan SMK Negeri 1 Lamongan dinilai efektif melatih dan meningkatkan kejujuran siswa. Hasilnya kantin di sekolah tersebut tidak ada yang merugi meskipun tidak meraih keuntungan terlalu besar.

Dengan adanya Koperasi Kejujuran di SDN Jetis III bisa meningkatkan omzet setiap harinya. Kepala SD Negeri Jetis III Lamongan, Kamis (1/1) Supriatin menuturkan selain melatih kejujuran dengan koperasi kejujuran juga melatih siswa belajar berhitung.

Sejak diberlakukan koperasi kejujuran 9 Desember lalu dalam sehari koperasi sekolahnya mampu meraup pendapatan antara Rp 600.000 hingga Rp 1,2 juta. Sebelum adanya koperasi kejujuran hanya mampu memberikan pemasukan Rp 150.000 hingga Rp 200.000 per hari.

"Siswa kami menyambut baik sistem koperasi kejujuran yang mendidik siswa untuk jujur dengan melayani dirinya sendiri tanpa ada yang mengawasi. Mereka tidak harus menunggu penjaga saat mereka memerlukan barang yang dibutuhkan. Mereka cukup mengambil barang yang dibeli dan menaruh uang di tempat yang disediakan dan mengambil uang kembalian sesuai harga barang," papar Supriatin.

Pelaksanaan koperasi kejujuran di SD Negeri Jetis III hanya mengalami kendala kecil khususnya siswa kelas I yang kurang mengerti saat mengambil uang kembalian. Kadang ada yang mengambil kembalian lebih tetapi juga ada yang kurang. "Bahkan ada juga yang tidak mengambil uang kembalian, sehingga untuk siswa kelas I kami masih mengawasi dari jauh," katanya.

Sementara itu penerapan kantin kejujuran di SMK Negeri 1 Lamongan juga berjalan lancar. Sejak adanya kantin kejujuran sekolah pernah merugi sekali Rp 4.300. Kerugian ini bukan karena kecurangan siswa, namun karena kesalahan siswa saat mengambil kembalian.

Namun, kerugian tersebut telah tertutupi. Dalam sehari kantin kejujuran di sekolah kejuruan tersebut mendapatkan penghasilan rata-rata Rp 200.000 hingga Rp 250.000. Kepala SMK Negeri 1 Lamongan Bambang Sidik mengatakan untuk mengantisipasi terjadinya kecurangan siswa, setiap upacara bendera hari Senin siswa diingatkan tentang kantin kejujuran dan sanksi yang akan diterima jika terbukti curang.

Sementara pengelola koperasi kejujuran di SMP Negeri 2 Lamongan Sulistyowati menyatakan meskipun berjalan lancar, namun masih ada satu atau dua siswa yang kedapatan bertindak curang. Namun tindakan tersebut tidak mengakibatkan kerugian koperasi yang dikelolanya karena cepat ditangani.

Menurut dia siswa yang kedapatan curang tidak mendapatkan hukuman, namun diajak bicara dari hati ke hati. "Alhamdulillah ternyata cara ini ampuh untuk mendidik anak berbuat jujur," kata Sulistyowati.

Sumber : Kompas edisi Kamis / 1 Januari 2009

Selasa, 24 Maret 2009

Mencari Sosok Guru Ideal

Guru ideal adalah dambaan peserta didik. Guru ideal adalah sosok guru yang mampu untuk menjadi panutan dan selalu memberikan keteladanan. Ilmunya seperti mata air yang tak pernah habis. Semakin diambil semakin jernih airnya. Mengalir bening dan menghilangkan rasa dahaga bagi siapa saja yang meminumnya.
Guru ideal adalah guru yang mengusai ilmunya dengan baik. Mampu menjelaskan dengan baik apa yang diajarkannya. Disukai oleh peserta didiknya karena cara mengajarnya yang enak didengar dan mudah dipahami. Ilmunya mengalir deras dan terus bersemi di hati para anak didiknya. Benarkah sosok itu ada? Lalu seperti apakah sosok guru ideal yang diperlukan saat ini?
Guru ideal yang diperlukan saat ini adalah pertama, guru yang memahami benar akan profesinya. Profesi guru adalah profesi yang mulia. Dia adalah sosok yang selalu memberi dengan tulus dan tak mengharapkan imbalan apapun, kecuali ridho dari Tuhan pemilik bumi. Falsafah hidupnya adalah tangan di atas lebih mulia daripada tangan di bawah. Hanya memberi tak harap kembali. Dia mendidik dengan hatinya. Kehadirannya dirindukan oleh peserta didiknya. Wajahnya selalu ceria, senang, dan selalu menerapkan 5S dalam kesehariannya (Salam, Sapa, Sopan, Senyum, dan Sabar).
Kedua, Guru yang ideal adalah guru yang rajin membaca dan menulis. Pengalaman mengatakan, siapa yang rajin membaca, maka ia akan kaya akan ilmu. Namun, bila kita malas membaca, maka kemiskinan ilmu akan terasa. Guru yang rajin membaca otaknya seperti komputer atau ibarat mesin pencari “Google” di internet. Bila ada peserta didiknya yang bertanya, memori otaknya langsung bekerja mencari dan menjawab pertanyaan para anak didiknya dengan cepat dan benar. Akan terlihat wawasan guru yang rajin membaca, dari cara bicara dan menyampaikan pengajarannya. Guru yang ideal adalah guru yang juga rajin menulis. Bila guru malas membaca, maka sudah bisa dipastikan dia akan malas pula untuk menulis. Menulis dan membaca adalah kepingan mata uang logam yang tidak dapat dipisahkan. Guru yang terbiasa membaca, maka ia akan terbiasa menulis, mengapa? Dari membaca itulah guru mampu membuat kesimpulan dari apa yang dibacanya, kemudian kesimpulan itu ia tuliskan kembali dalam gaya bahasanya sendiri. Menulis itu ibarat pisau yang kalau tidak sering diasah, maka akan tumpul dan berkarat. Guru yang rajin menulis, akan mempunyai kekuatan tulisan yang sangat tajam, layaknya sebilah pisau. Tulisannya sangat menyentuh hati, dan bermakna. Runut serta mudah dicerna bagi siapa saja yang membacanya.
Ketiga, Guru yang ideal adalah guru yang sensitif terhadap waktu. Orang Barat mengatakan bahwa waktu adalah uang, time is money. Bagi guru waktu lebih dari uang dan bahkan bagaikan sebilah pedang tajam yang dapat membunuh siapa saja termasuk pemiliknya. Pedang yang tajam bisa berguna untuk membantu guru menghadapi hidup ini, namun bisa juga sebagai pembunuh dirinya sendiri. Bagi guru yang kurang memanfaatkan waktunya dengan baik, maka tidak akan banyak prestasi yang ia raih dalam hidupnya. Dia akan terbunuh oleh waktu yang ia sia-siakan. Karena itu guru harus sensitif terhadap waktu. Detik demi detik waktunya teratur dan terjaga dari sesuatu yang kurang baik serta sangat berharga. Saat kita menganggap waktu tidak berharga, maka waktu akan menjadikan kita manusia tidak berharga. Demikian pula saat kita memuliakan waktu, maka waktu akan menjadikan kita orang mulia. Karena itu, kualitas seseorang terlihat dari cara ia memperlakukan waktu dengan baik.
Keempat, Guru yang ideal adalah guru yang kreatif dan inovatif. Merasa sudah berpengalaman membuat guru menjadi kurang kreatif. Guru malas mencoba sesuatu yang baru dalam pembelajarannya. Dia merasa sudah cukup. Tidak ada upaya untuk menciptakan sesuatu yang baru dari pembelajarannya. Dari tahun ke tahun gaya mengajarnya itu-itu saja. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang dibuatpun dari tahun ke tahun sama, hanya sekedar copy and paste tanggal dan tahun saja. RPP tinggal menyalin dari kurikulum yang dibuat oleh pemerintah atau menyontek dari guru lainnya. Guru menjadi tidak kreatif. Proses kreatif menjadi tidak jalan. Untuk melakukan suatu proses kreatif dibutuhkan kemauan untuk melakukan inovasi yang terus menerus, tiada henti.Guru yang kreatif adalah guru yang selalu bertanya pada dirnya sendiri. Apakah dia sudah menjadi guru yang baik? Apakah dia sudah mendidik dengan benar? Apakah anak didiknya mengerti tentang apa yang dia sampaikan? Dia selalu memperbaiki diri. Dia selalu merasa kurang dalam proses pembelajarannya. Dia tidak pernah puas dengan apa yang dia lakukan. Selalu ada inovasi baru yang dia ciptakan dalam proses pembelajarannya. Dia selalu memperbaiki proses pembelajarannya melalui Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Dia selalu belajar sesuatu yang baru, dan merasa tertarik untuk membenahi cara mengajarnya. Dia senantiasa belajar sepanjang hayat hidupnya.
Terakhir, Guru yang ideal adalah guru yang memiliki 5 kecerdasan. Kecerdasan yang dimiliki terpancar jelas dari karakter dan prilakunya sehari-hari. Baik ketika mengajar, ataupun dalam hidup ditengah-tengah masyarakat. Kelima kecerdasan itu adalah: kecerdasan intelektual, kecerdasan moral, kecerdasan sosial, kecerdasan emosional, kecerdasan motorik. Kecerdasan intelektual harus diimbangi dengan kecerdasan moral, Mengapa? Bila kecerdasan intelektual tidak diimbangi dengan kecerdasan moral akan menghasilkan peserta didik yang hanya mementingkan keberhasilan ketimbang proses, segala cara dianggap halal, yang penting target tercapai semaksimal mungkin. Inilah yang terjadi pada masyarakat kita sehingga kasus korupsi merajalela di kalangan orang terdidik. Karena itu kecerdasan moral akan mengawal kecerdasan intelektual sehingga akan mampu berlaku jujur dalam situasi apapun. Jujur bukanlah kebijakan yang terbaik, tetapi jujur adalah satu-satunya kebijakan. Kejujuran adalah kunci keberhasilan dan kesuksesan. Selain itu kecerdasan sosial juga harus dimiliki oleh guru ideal agar tidak egois, dan tidak memperdulikan orang lain. Dia harus mampu bekerjasama dengan karakter orang lain yang berbeda. Kecerdasan emosional harus ditumbuhkan agar guru tidak gampang marah, tersinggung, dan mudah melecehkan orang lain. Sedangkan kecerdasan motorik diperlukan agar guru mampu melakukan mobilitas tinggi sehingga mampu bersaing dalam memperoleh hasil yang maksimal.