Rabu, 06 Mei 2020

PERJALANAN KE TITIK NOL DI TIMUR INDONESIA

Dari Sabang sampai Merauke, berjajar pulau-pulau..

Sambung menyambung menjadi satu...

Itulah Indonesia


Lirik lagu di atas tentunya tak asing bagi kita, karena ketika di sekolah dulu pastilah pernah dinyanyikan. Tak pernah kubayangkan sebelumnya, Allah SWT akan menghantarkan diriku hingga ke ujung timur Indonesia ini. Ya, kota Merauke yang dikenal dengan sebutan Kota Rusa ini akhirnya berhasil kuinjak juga. Kota kedua di Papua yang pernah kuinjak setelah Timika yang tentunya kuberharap bukan kota terakhir yang kuinjakkan.


Berbatasan langsung dengan negara Papua Nugini, kota Merauke yang menjadi bagian dari Propinsi Papua ini bagiku cukup eksotik. Kotanya masih sangat sederhana, sangat jauh jika dibandingkan dengan Bulungan, Kalimantan Utara atau pun Timika di Papua.  Ketika menginjakkan kaki pertama kali di Bandara, sudah tercantum sebuah tulisan “Izakod Bekai Izakod Kai” yang artinya satu hati satu tujuan. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat di Merauke ini mempunyai semangat persatuan yang luar biasa. Ketika keluar dari bandara, nampak patung Yesus dalam ukuran besar di halaman bandara.


Sepanjang perjalanan menuju Pondok Pesantren Hidayatullah Merauke, banyak dijumpai rumah-rumah yang sangat sederhana dan tak berpenghuni sepertinya. Penduduk di sepanjang jalan pun tidak sama dengan yang aku pikirkan. Semula di benakku pastilah banyak orang-orang suku papua yang berada di sepanjang jalan, namun ternyata malah kebanyak ras melanesia. Dan dari cerita yang aku dengar, ternyata memang kebanyakan penduduk Merauke ini adalah berasal dari Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Bahkan beberapa kali berpapasan mobil plat L juga ada. Di sepanjang jalan, ternyata ada juga pemuda-pemuda Papua yang sedang bercengkrama. Katanya kegiatan mereka seperti itu, biasanya diikuti dengan minum minuman keras. Astaghfirullahal adhim. Meskipun mereka tak pernah mengganggu, namun terkadang membuat takut juga bagi yang melewati jalan tersebut.


Sesampai di tempat yang dituju, Pesantren Hidayatullah Merauke, tempatnya persis di pinggir jalan raya. Jangan dibayangkan dengan jalan raya di Surabaya yang bising dengan suara kendaraan yang lewat. Kendaraan yang lewat hanya beberapa saja bisa dihitung dengan jari tangan kita, seehingga tidak terdengar suara bising oleh kendaraan. Menurut cerita teman-teman pengelola yayasan, lokasi pesantren berada di bibir sungai besar, yaitu Sungai Maro sehingga jika hujan lebat akan menyebabkan banjir besar dan kampus akan terendam air.


Lokasi yang luasnya 1 Ha ini ditata sesuai ciri khas Hidayatullah memiliki 3 dimensi lingkungan, yaitu ada perumahan warga, masjid, dan sekolah. Masjid mewakili dimensi Islamiah sebagai pusat pergerakan dan pendadaran dari sisi ruhiyah. Sekolah yang mewakili dimensi ilmiah sebagai pusat penguatan intelektual. Dan rumah warga mewakili dimensi alamiah sebagai proses persiapan bersosialisasi.


Ada empat jenjang pendidikan yang sedang ditangani yaitu TK, MI, MTs, dan MA. Dengan peserta didik yang jumlahnya sudah berkisar 400 santri, maka wajar kiranya kalau kampus madya ini sudah dikenal oleh warga sekitar. Dan hingga saat ini, pendidikan di Merauke merupakan rujukkan dari warga sekitar karena belum ada lembaga pendidikan Islam yang dianggap bagus kualitasnya.


Dengan segala keterbatasan yang dimiliki oleh pengelolanya, Pesantren Hidayatullah Merauke telah berhasil menarik hati warga sekitar. Hal ini merupakan khabar baik bagi kita semua, bahwa ternyata di ujung timur Indonesia masih ada cahaya yang kelak akan menjadi suluh dalam perbaikan generasi mendatang. Wallahu a’lam.